Ajeng Astri, Pengusaha Tangguh Pendiri Resto Mbah Jingkrak

Setelah sukses mengembangkan rumah makan steak Ben Tuman, Ajeng Astri Denaya berhasil mengelola rumah makan Mbah Jingkrak. Keduanya kini dikembangkan dengan model waralaba.

Jalan-jalan ke kota Semarang, kurang lengkap rasanya bila tidak menikmati pitik rambut syetan atau sambel iblis. Jangan kaget dulu, belakangan menu yang terkesan menyeramkan itu memang sedang popular di ibu kota propinsi Jawa Tengah ini. Untuk mendapatkannya tidak perlu laku ritual, tapi cukup datang ke Rumah Makan Mbah Jingkrak.

Rumah makan yang berada di kawasan Jl. Taman Beringin tersebut, memang sedang naik daun. Itu karena kepintaran pengelolanya dalam menyajikan menu-menu yang membuat penasaran para pemburu makanan enak."Selain penasaran dengan nama menu, mereka cocok dengan makanan yang kami sajikan, " kata Ajeng Astri Denaya, pemilik restoran tersebut.

Dalam jagad bisnis resto, nama Mbah Jingkrak bisa dibilang pendatang baru. Ia baru muncul setahun belakangan ini. Hebatnya dalam tempo yang terbilang singkat itu, ia telah memiliki pelanggan fanatik. Menariknya, mereka justru berasal dari kalangan menengah ke atas, yang sebenarnya tidak dibidik secara khusus pada awal pendirian rumah makan ini. "Semula kami membidik pasar semua lapisan, tapi ternyata yang muncul justru kalangan menengah ke atas, padahal harga menu kami sangat terjangkau kalangan mana pun," tutur ibu tiga anak ini.

Kemunculan rumah makan ini, memang terbilang fenomenal. Ia melesat cepat bak meteor. Maklum dalam waktu yang relatif singkat, telah berhasil menarik hati masyarakat. Tak mengherankan, bila dalam tempo tidak sampai sebulan pengelola rumah makan ini mengklaim telah berhasil mengembalikan modal yang ditanamkannya. "Kami sangat bersyukur karena tidak genap sebulan, modal yang kami tanam langsung balik," imbuh Ajeng.

Menurut pengakuan Ajeng, Mbah Jingkrak baru resmi beroperasi sejak akhir 2005 lalu. Pendirian rumah makan ini, merupakan pengembangan bisnis resto yang telah dijalaninya sejak tahun 1997 silam. Wanita penghobi masak ini, sebelumnya memang telah berhasil mengembangkan bisnis jasa boga. Ia tercatat sebagai pemilik Warung Steak Ben Tuman, yang berada di Semarang dan kini telah berkembang di Jakarta.. "Setelah warung steak berkembang, saya kok pengin mengembangkan rumah makan dengan menu makanan tradisional," ungkapnya.

Ajeng berterus terang bahwa pendirian rumah makan Mbah Jingkrak terinspirasi dari beberapa warung makan tradisional yang ada di Yogyakarta dan Solo. Dia melihat ada beberapa warung di kedua kota tersebut yang cukup laris walaupun tempat dan cara penyajiannya sangat sederhana. Mereka laris bukan karena tempat tapi karena menu yang disajikan dirasakan cocok bagi kebanyakan orang, termasuk dari kalangan menengah.

Namun ada sebagian besar kaum berduit yang merasa malu makan di tempat seperti ini, walaupun mereka sebenarnya merasa cocok dengan menu yang disajikan."Mereka sebenarnya mau, tapi juga malu apalagi yang biasa jaga image atau sok gengsi," tandas Ajeng.

Melihat fenomena banyaknya warung makan tradiosional yang cukup laris, Ajeng merasa ada peluang pasar yang bisa diraihnya. Ia tertarik membuat rumah makan dengan menyajikan menu tradisional, tapi disajikan di tempat yang representative sehingga bagi kalangan menengah ke atas tidak sungkan untuk datang menikmatinya.

Bila melihat menu yang disajikan di rumah makan Mbah Jingkrak, memang terasa tidak asing lagi. Karena semua bisa ditemukan di warung-warung makan lain. Hanya saja yang membuat berbeda, Ajeng menamakan beberapa menunya dengan nama yang nyleneh seperti pitik rambut syetan, sambel syetan, sambel iblis, es tobat, dll. Sambel iblis, sebenarnya hanya sambel biasa tapi dibuat dari cabe rawit, yang terasa pedas sekali. Siapa pun yang menikmati tentu akan merasa kepedasan. Penamaan menu-menu aneh tersebut, memang menjadi strategi promosi untuk membuat konsumen penasaran. Dan strateginya memang membuahkan hasil , karena setiap muncul menu baru selalu ada yang merasa penasaran dan ngin mencobanya. "Biasanya setelah mencoba mereka akan ketagihan, nah membuat orang ketagihan ini yang sulit," paparnya.

Pernyataan Ajeng, memang tidak berlebihan. Nyatanya, dengan nama-nama menu yang terkesan "sangar" tersebut, ternyata telah mengangkat citra Rm Mbah Jingkrak, hingga cepat dikenal masyarakat. "Kami memang sengaja membuat menu aneh yang bikin penasaran konsumen," katanya lagi.
Nama Mbah Jingkrak itu, sendiri menurut Ajeng diperoleh secara tidak sengaja. Itu terjadi ketika dia bersama sang suami, Henry Pramono hendak pergi ke sebuah desa di Kecamatan Munggi, Kabupaten Gunungkidul, DIY. Di desa itu ada sebuah warung makan yang sangat terkenal karena menyajikan menu nasi beras merah dan sayur lombok tempe. Dalam perjalanan tersebut, Ajeng tidak ingat nama rumah makan yang akan ditujunya. Tiba-tiba sang suami nyebut nama "Mbah Jingkrak", padahal yang dimaksud adalah desa Jirak. "Saya mendadak punya inspirasi untuk menamakan Mbah Jingkrak menyadi nama rumah makan, ini kayaknya pas sekali," tutur Ajeng.

Sejak itulah, ia merasa mantap menggunakan nama Mbah Jingkrak di rumah makan yang kemudian dibukanya di Semarang hanya beberapa hari sepulang dia menyempatkan makan di Gunungkidul. Nama ini sangat cocok karena dalam bahasa Jawa, jingkrak berarti melompat-lompat karena kegirangan.
Masih menurut Ajeng, untuk mendirikan rumah makan tersebut, ia hanya mengggunakan modal Rp 40 juta. Modal ini digunakan untuk penyiapan alat dan promosi. Tanpa dinyana modal sebanyak itu ternyata langsung balik dalam tempo tidak sampai satu bulan. "Padahal perhitungan saya, modal paling tidak baru bisa balik selama tiga bulan," ujarnya.

Tidak mengejutkan bila, dalam tempo singkat Ajeng berhasil mengembangkan Mbah Jingkrak. Maklum ia memang sudah paham betul strategi apa yang harus dilakukannya, salah satunya adalah strategi promosi. Ketika pertama buka, ia langsung memblow up promosi lewat media lokal dan menghubungi semua relasi bisnis yang telah dimilikinya.

Bagi Ajeng, menjalankan bisnis rumah makan agaknya sudah menjadi jalan hidupnya. Ia kini bisa dibilang meraih kesuksesan hidupnya karena bisnis jasa boga yang digelutinya. Saat ini Ajeng tercatat mengelola dua rumah makan, Ben Tuman dan Mbah Jingkrak. Keduanya berlokasi di tempat yang sama.
Sekedar informasi, sebelum sukses menggeluti bisnis resto, Ajeng tercatat sebagai karyawan sebuah perusahaan garmen di Semarang. Tekad untuk pindah kuadran menjadi pengusaha memang sudah bulat. Itu karena kondisi ekonomi yang mendorong semangat berbisnisnya bangkit. "Bayangkan mas saya harus menanggung tiga anak, sementara saya single parent," tutur wanita bertubuh kuning langsat ini.

Secara ekonomi, Ajeng memang sudah terbilang sukses. Yang menarik, ia kini sering diundang ke beberapa forum pelatihan kewirausahaan untuk menjadi nara sumber. Keberhasilannya mengelola kedua rumah makan tersebut, kayaknya memang patut ditularkan kepada calon pebisns lain untuk menirunya."Dengan senang hati, kami menularkan ilmu agar mereka bisa mengikuti jejak kami," tuturnya.

Ajeng tidak hanya mengembangkan bisnis di Semarang,.Ia telah melebarkan sayap ke Jakarta. Ben Tuman dan Mbah Jingkrak sudah merambah ke ibukota Negara ini dengan cara waralaba. "Kebetulan ada kawan-kawan yang tertarik, karena itulah saya mencoba mengembangkan dengan cara waralaba," imbuhnya.

Saat ini, Ajeng menjual waralaba untuk Ben Tuman sebesar Rp 150 juta. Sedangkan untuk Mbah Jingkrak, hanya sebesar Rp 50 juta." Yang minta untuk membuka sudah banyak, kami masih mengkaji kelayakannya," tuturnya. (bn/berbagi.blogspot.com)

Sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/domestic-womenpreneur/ajeng-astri-pengusaha-tanggung-pendiri-resto-mbah-jingkrak

Comments