Kisah Viska Syahrul Sukses Berbisnis Tempe

Sempat dipandang sebelah mata, tidak membuat patah arang. Bersama dengan sang istri yang ketika itu baru dua tahun dinikahi, Viska Syahrul, membangun usaha pembuatan tempe berjuluk Super Dangsul pada 23 Maret 1998.

Berbekal kemampuannnya dalam memahami mesin produksi, ia memproduksi tempe yang berbeda dari yang lain.  Tidak dipungkiri, pengusaha tempe di Jogja jumlahnya mencapai ribuan. Namun berkat strategi pemasaran, proses pembuatan yang khas, membuat tempe Super Dangsul tetap menonjol dan laku keras.

Bahkan, harga kedelai yang fluktuatif tidak mengganjal langkah tempe yang diproduksi di Wiyoro Kidul, Baturetno, Banguntapan, Bantul ini.

Bersama dengan Yuri Kurniasih, perempuan yang telah memberinya dua anak, Syahrul menyambut kedatangan Harian Jogja di tempat produksi Super Dangsul pada suatu siang. Laki-laki jebolan Jurusan Teknik Mesin UMY ini bercerita perihal seluk beluk usaha tempe yang telah mengangkat ekonomi keluarganya.

Krisis moneter kala itu membuat usaha cor aluminium yang ditekuninya sejak SMA gulung tikar karena ongkos produksi yang sangat tinggi tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh.

Pilihan untuk berbisnis di bidang makanan pun sontak menyerbu pikiran pria ini. Alasannya sederhana dan sangat logis, orang selalu butuh makan, terlebih dengan kondisi Jogja yang selalu ramai dengan pelajar dan mahasiswa sudah pasti makanan bisa diterima.

Awalnya, ia belum memproduksi tempe sendiri, tapi menjual tempe yang diproduksi kerabatnya. "Saya tidak punya bekal sama sekali dalam berdagang ketika itu, jadi mekanisme berjualan di pasar pun saya tidak tahu, tetapi saya nekat mencoba," ujarnya.

Benar saja, saat berjualan di pasar ia pun sempat beberapa kali disuruh pindah lapak karena ternyata area tersebut sudah ada yang menyewa. Lagi-lagi hal itu tidak mengecilkan hatinya, Syahrul tetap setia berjualan tempe di pasar. Sekitar enam bulan ia berjualan sendiri sampai akhirnya memutuskan untuk mempekerjakan seseorang dan ia pun berjualan di pasar lain.

Berjualan tempe di pasar ternyata tidak cukup membuatnya puas, maka ia pun mulai mengembangkan strategi pemasaran. Caranya, jemput bola ke warung-warung menawarkan langsung tempe-tempenya.

Dari sinilah ia mulai menjaring sales dengan sistem persenan, yakni memberikan 10% dari hasil penjualan tempe ke sales yang berhasil menjual produknya.

Untuk meningkatkan produksi dan pendapatan dari usaha tempe, Syahrul memberanikan diri memproduksi tempe sendiri. Mengingat laki-laki kelahiran Jogja, 30 Januari ini tidak memiliki keahlian dalam pembuatan tempe, maka ia pun meluangkan waktu sekitar tiga bulan untuk mempraktikkan pembuatan makanan berbahan dasar kedelai yang difermentasi.

Proses ini dibilang menjadi penentu Super Dangsul yang dijualnya. Jatuh bangun yang dialami dalam rangka menentukan komposisi pas sudah dilaluinya, seperti tempe yang tidak jadi hingga menyebabkan rugi.

Ketekunannya membuahkan hasil. Super Dangsul menjadi tempe yang berkualitas dengan warna yang kuning kecoklatan saat digoreng.

Tidak hanya itu gurih alami tanpa bahan kimia serta pengawet membuat Super Dangsul menjadi langganan banyak warung makan dan restoran yang berada di seputaran Jogja, Bantul, dan Sleman.

Jumlahnya fantastis, Super Dangsul digunakan lebih dari 1.000 tempat makan. "Bahkan saya sendiri sampai tidak hafal detailnya karena sudah diurusi oleh para sales," imbuh Syahrul.

Kendati sudah memiliki banyak pelanggan, Super Dangsul memang jarang ditemui di pasar. Menurut Syahrul hanya ada empat pasar besar yang menjual tempe produksinya, yakni Pasar Sentul, Prawirotaman, Gedongkuning, dan Kranggan.

Beberapa supermarket besar pun sudah pernah meminangnya, tetapi ia masih berpikir ulang karena mekanisme di pasar modern lebih ribet terutama soal pembayaran yang membutuhkan waktu.

"Berbeda dengan sistem jemput bola di warung yang sistem pembayarannya langsung," terang laki-laki yang mengaku tidak memiliki latar belakang keluarga berdagang karena kedua orangtuanya adalah guru.

Baik Syahrul maupun Yuri tidak pernah menyangka usaha yang dimulai dari 20 kilogram tempe kini menjadi 1,2 ton per hari. Omzet yang diperolehnya pun terbilang besar, yakni Rp12 juta per hari.

"Jangan dilihat enaknya sekarang, dulu ya kami bekerja keras habis-habisan," timpal Yuri seraya menyebutkan usahanya memiliki 19 pekerja dan 35 sales. (as/solopos.com)

Comments