Mengulur mi basah, menarik labanya

                Mengulur mi basah, menarik labanya

Di Indonesia, kuliner yang menjual olahan mi punya banyak penggemar. Peluangnya masih terbuka, terlihat dari peningkatan penjualan para pemainnya. Proses pembuatannya mudah, tapi tetap utamakan kualitas.

Bagi orang Indonesia, mi sudah seperti makanan pokok pengganti nasi. Bak gula pengundang semut, usaha mi pun tumbuh subur. Gerai yang menjual mi menjamur di banyak tempat. Ini jadi kesempatan menarik bagi pengusaha yang tertarik untuk memproduksi mi basah.

Setidaknya ada dua hal yang mendukung pertumbuhan bisnis pabrik mi. Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang besar. Kedua, banyaknya gerai yang menyajikan mi. Dus, permintaan mi basah dari tahun ke tahun pun kian meningkat.

Hal itu diutarakan oleh Wiyono Gunawan, pemilik pabrik mi di Malang, Jawa Timur. Usaha mi bernama Mi Gloria yang digawangi Wiyono sudah dimulai sejak 1971 oleh sang ayah. Saat ini, Wiyono meneruskan dengan tak hanya memproduksi mi di pabrik, tapi juga membuka outlet penjualan mi, serta depot cui mi di Malang bersama keluarganya.

Wiyono mengatakan, tiap terjadi peningkatan kapasitas produksi di pabriknya, permintaan selalu naik. Pertumbuhan wisatawan di Malang, serta penambahan kedai yang menjual mi membuat bisnisnya meningkat 7% –10% saban tahun.

Mi Gloria memasok mi basah untuk puluhan pedagang mi gerobak, depot, restoran, hotel, dan katering di Malang, Surabaya, dan Kediri. Kapasitas produksi Mi Gloria per hari lebih dari 300 kg. Harga jual mi basah produksi Wiyono berkisar Rp 10.000–Rp 17.500 per kg. Dus, omzet yang ia peroleh dari bisnis ini mencapai Rp 100 juta per bulan.

Pemain lain dalam bisnis mi basah ialah Sakidjan, yang sukses dengan usaha Mie Kondang di Jakarta. Ia sudah berjualan mi ayam sejak 1975, tapi saat itu ia masih mengambil pasokan mi basah dari produsen lain. Gara-gara permintaan semakin banyak, ia memutuskan bikin mi basah sendiri sambil tetap menjual mi ayam.

Menurut Sakidjan, pasar mi basah masih sangat luas. Hanya, persaingan tak bisa dihindari. Untuk itu, kualitas dan kebersihan mi basah harus sangat diperhatikan. "Selain enak, yang namanya makanan juga harus bersih. Itu yang utama dicari konsumen," katanya.

Kapasitas produksi Mie Kondang bertambah tiap tahun. Pabrik ini tak hanya membuat mi basah untuk memenuhi kebutuhan di outlet mereka, tapi juga menyuplai mi basah untuk pedagang mi ayam di Jabodetabek. "Kami juga punya bagian katering yang menyajikan mi ayam untuk keperluan pesta atau event tertentu," ujar Pandiono, salah satu penerus usaha Mie Kondang.

Pandiono bilang, sepanjang tahun 2014, gerainya bertambah jadi 187 outlet. Tahun sebelumnya, outlet Mie Kondang hanya 130. Otomatis, kapasitas produksinya juga bertambah mencapai 25%. Saat ini, dalam sehari, Mie Kondang memproduksi hingga 20 sak mi basah. Satu sak mi basah berisi 25 kg.

Harga jual mi yang diproduksi berkisar Rp 12.000–Rp 15.000 per kg. Harga ini, kata Pandiono, bergantung pada penggunaan telur untuk membuat mi. "Ada yang minta mi tanpa telur, ada juga yang minta telur," ucapnya.

Menurut hitung-hitungan KONTAN, dalam sebulan Mie Kondang bisa menghasilkan omzet Rp 180 juta. Adapun laba bersih dari usaha ini, kata Sakidjan, mencapai 20% dari omzet.

Kenaikan harga bahan bakar minyak tahun lalu tak lantas membuat Pandiono menaikkan harga jual mi basah. "Banyak bahan baku naik drastis, tapi kami tunggu tiga bulan sebelum menaikkan harga," ujarnya.

Nah, belum tiga bulan, harga BBM diturunkan, demikian pula harga bahan baku mulai stabil. Jadi, menurut dia, untuk sementara, mengerek harga bukanlah opsi yang akan diambil untuk meraih keuntungan. Untuk menekan ongkos produksi, Pandino mengurangi bobot mi basah. Jika dulu tiap satu kilogram mi basah dibagi 13 gulung, kini ia menjualnya dalam 14 gulung mi.

Hal yang sama juga diucapkan Wiyono. Peningkatan harga BBM tak menimbulkan dampak signifikan pada penjualan mi di pabriknya. Apalagi, pengumuman kenaikan itu dilakukan mendekati akhir tahun. "Malah semakin banyak turis yang semangat berkuliner di Malang, jadi penjualan aman," cetusnya.

Wiyono mengakui biaya produksi meningkat, tapi tidak lebih dari 5%. Pasalnya, ada kenaikan harga bahan baku telur  dan tepung terigu, serta ongkos angkut dan kuli, biaya pengiriman, tambahan uang transpor karyawan. "Saya memutuskan untuk menaikkan harga produk pada pertengahan Januari karena upah karyawan dan tarif listrik juga naik," ujar dia.

Wiyono menambahkan, peluang untuk mendirikan pabrik mi pada 2015 masih ada. Dengan jumlah penduduk yang banyak, masyarakat Indonesia merupakan pemakan mi nomor tiga di dunia. Mi juga sudah dianggap sebagai makanan sehari-hari sehingga muncul banyak restoran yang menyediakan menu mi. "Bagi sebagian orang, mi basah lebih bergengsi dari mi kering," tuturnya.  

 

Tak hanya bikin mi  

Para produsen mi basah menuturkan, rata-rata pembuat mi basah juga menjual mi olahan, khususnya mi ayam. Ini dilakukan tak hanya untuk menambah omzet. Akan tetapi, konsumen bisa melihat langsung kualitas dari mi yang diproduksi.

"Sebelum mulai produksi, buktikan dulu kalau bisa berhasil jualan mi olahan. Itu yang banyak dijalankan produsen mi basah seperti saya," kata Sakidjan.

Di samping itu, jika sedang sepi order dari pedagang mi lain, setidaknya produksi tetap berjalan untuk dijual di depot mi sendiri.

Hal itu disetujui oleh Wiyono. "Dulu ayah saya juga punya depot bakmi. Dari situ orang-orang tahu bahwa ia juga ternyata menjual mi mentah, jadi banyak yang pesan," ujarnya.

Namun, Wiyono menambahkan, jika tak berjualan mi olah-an pun, usaha mi basah tetap jalan. Kunci utama terletak pada diferensiasi produk. Kebanyakan produsen tak mau memenuhi orderan mi yang khusus karena merepotkan.

Wiyono bilang, di Malang banyak pemain besar yang hanya memproduksi mi basah tanpa menjual mi olahan. Namun,  mereka merupakan pemain lama yang sudah punya nama sehingga orang-orang sudah percaya. Adapun pemain baru, kalau tak melakukan diferensiasi produk, paling-paling banting harga. Sementara, harga tepung sangat fluktuatif. "Kalau harga tepung naik, harga mi tak bisa langsung dinaikkan jadi harus pintar-pintar menjual produk," tukasnya.

Di sisi lain, hal ini membuat pengusaha membutuhkan banyak karyawan untuk ditempatkan di outlet. Mie Kondang, misalnya. Dari total 38 orang yang bekerja di pabrik ini, hanya empat orang di bagian produksi. Sisanya, ada di outlet penjualan untuk melayani konsumen secara langsung.

Anda tertarik menggeluti bisnis pembuatan mi?

Untuk mendirikan pabrik kecil atau rumahan di wilayah Jabodetabek, modal yang dibutuhkan memang tidak kecil. Menurut Pandiono, untuk merintis pabrik mi basah saat ini, pengusaha harus merogoh kocek di atas Rp 100 juta sebagai modal.

Sementara Wiyono menyarankan, modal usaha diambil dari tabungan sendiri dibandingkan dengan mengajukan kredit pada bank. "Karena bagi saya, cara  berbisnis yang benar dimulai dari skala kecil," tandasnya.

Nah, bila bisnis sudah berjalan dan ingin diperbesar, boleh pinjam modal tambahan dari bank. Dus, sebagian omzet bisa digunakan untuk bayar angsuran. Dengan demikian, pengusaha bisa dengan cepat mendapat uang kontan daripada tunggu menabung.

Adapun dari urusan perizinan, tak begitu banyak yang harus diurus. Wiyono bilang, minimal pabrik mi basah harus mengurus ijin gangguan (HO), tanda daftar industri, dan sertifikat pangan industri rumah (PIRT) ke dinas kesehatan.

Wiyono mengingatkan, beberapa hal mutlak dihindari dalam usaha ini. Yang paling utama ialah: tidak menambahkan zat yang bersifat racun ke dalam produk mi, misalnya formalin atau boraks. Bisnis makanan harus menggunakan bahan yang food grade. "Sikap tamak atau ingin untung besar juga dihindari agar tak tergoda untuk mengganti bahan baku dengan kualitas yang lebih rendah," tandasnya.

Menurut penuturan Pandiono dan Wiyono, ada tiga faktor yang harus diperhatikan untuk merintis pabrik mi, sebagai berikut:     


• Mesin

Saat ini, telah tersedia set mesin pembuatan mi yang terdiri dari mesin pengaduk adonan (mixer), mesin rolling untuk membentuk mi, serta mesin pemotong mi. Harganya belasan  hingga puluhan juta rupiah.

Baik Sakidjan maupun Wiyono memilih untuk memesan mesin agar sesuai dengan kebutuhan produksi. Mesin pembuat mi milik Sakidjan diorder pada tukang bubut. Harganya beragam. Untuk mikser, Sakidjan bilang harganya berkisar Rp 20 juta–Rp 24 juta. Sementara mesin pres sekitar Rp 18 juta–Rp 26 juta, serta mesin potong Rp 17 juta.  "Modal yang paling banyak saya keluarkan saat memulai bisnis ini adalah untuk membeli mesin," kata Sakidjan.

Wiyono pun demikian. Apalagi mesin yang dimiliki pabrik Mi Gloria cukup banyak. Mi Gloria memiliki dua mesin pengaduk adonan, 10 mesin rolling, serta empat mesin potong.

Menurut Wiyono, mesin pembuat mi ini memang tak boleh hanya satu buah alias harus ada cadangan. Pasalnya, hampir 100% proses pembuatan mi dikerjakan mesin.

Di sisi lain, produksi mi basah harus dilakukan tiap hari untuk menjaga kesegarannya. Saking banyaknya pesanan, Wiyono tak pernah meliburkan pabriknya lebih dari dua hari. "Saya harus memastikan proses produksi harus lancar tiap hari, salah satunya dengan menyediakan mesin serep kalau ada mesin yang rusak," ucapnya.

Pemilik pabrik mi pun tak boleh abai dalam perawatan mesin. Setidaknya tiap bulan, mesin dirawat dan dicek agar terus bisa beroperasi. Lanjut Wiyono, untuk mesin bisa menggunakan produk dalam negeri yang kualitasnya sudah bagus.


• Tempat usaha

Menurut Sakidjan, produksi mi basah bisa dilakukan dalam skala rumahan.  Makanya, dulu ia menggunakan rumahnya sendiri sebagai tempat produksi. "Ruangan tak butuh yang terlalu besar yang penting bersih," tegas Sakidjan.

Untuk memproduksi mi basah, Sakidjan menggunakan pabrik seluas 60 m2. Selain untuk produksi, pabrik ini dibutuhkan untuk menyimpan bahan baku serta gudang penyimpanan sementara mi basah yang sudah selesai dibuat.  "Lokasinya tak harus di kota, tapi jangan terlalu jauh juga dengan konsumen," katanya.

Bagi Wiyono, tempat harus jadi hal pertama yang diperhatikan ketika memulai bisnis pembuatan mi basah. Tempat produksi diusahakan ada di tengah kota agar mudah dijangkau. Pasalnya, kebanyakan pedagang mi basah berada di tengah kota. "Kalau saya bikin pabrik di pinggiran, orang akan susah mencapai pabrik sementara mereka butuh mi yang segar jadi tak boleh terlalu lama di perjalanan," kata dia.

Pola penjualan mi basah, kata Wiyono, produksi hari ini juga harus habis di hari yang sama. Dus, lokasi produksi harus dekat pasar untuk mempermudah distribusi dan konsumen yang membeli.

Untuk itu, Wiyono bilang, investasi terbesar dalam usaha ini ialah biaya sewa atau pembelian pabrik. Saat ini, Mi Gloria punya pabrik seluas 300 meter persegi di Malang. "Besarnya investasi bergantung pada lokasi pabrik karena ini membutuh investasi besar," ujar Wiyono.


• Bahan baku

Wiyono mengatakan, pembuatan mi basah cukup mudah. Ada empat tahap yang dilewati, yakni pembuatan adonan, pemampatan adonan jadi lembaran, penipisan lembaran, serta pemotongan lembaran menjadi mi. Dari keempat tahap itu, yang paling sulit ialah penipisan mi sehingga bisa sesuai dengan keinginan pembeli. "Kadang-kadang setelah ditipiskan, hasilnya bisa melesat beberapa milimeter dari seharusnya," kata Wiyono.

Untuk membuat mi, bahan baku utama adalah tepung terigu. Lantas bahan lain yakni telur, air, dan garam.

Sakidjan bilang, satu bal tepung terigu bisa menghasilkan sekitar 30 kg mi basah. "Hasilnya jadi lebih berat karena ada penambahan air," ujarnya. Menurut takaran Wiyono, tiap 1 kg tepung terigu bisa menghasilkan 1,2 kg mi basah.

Belanja bahan baku diakui oleh Sakidjan dan Wiyono jadi biaya terbesar dalam pengeluaran bulanan mereka. Dalam sebulan, bahan baku bisa mencaplok 70% dari total pengeluaran per bulan. Kemudian disusul pembayaran gaji karyawan dan biaya operasional.

Salah satu kesulitan dalam usaha mi basah ialah produk tidak bisa tahan lama. Dus, produsen pun tidak bisa stok  terlalu banyak. Proses produksi harus dimulai saat subuh agar lebih cepat juga dikirim pada konsumen.

Wiyono menekankan agar produsen memilih bahan baku yang bagus bukan murah. Pasalnya, untuk memproduksi mie basah diperlukan kualitas tepung terigu yang bagus. Artinya, tepung terigu harus tinggi protein, kadar gluten tinggi, dan kadar abu yang rendah.                                            

 

Editor: Tri Adi


Baca sumber

Comments